Senin, 16 Maret 2020

MANUSIA DAN AI (KECERDASAN BUATAN)




Dengan hadirnya teknology di kehidupan sehari-hari manusia maka berubah pula lah pola hidup manusia saat ini, hampir seluruh sendi kehidupan manusia membutuhkan teknology untuk mempermudah penyelesian tugas atau masalah sehai-hari. Manusia-manusia moderen saat ini cenderung bergantung dengan teknology sehingga mereka menjadi masyarakat yang hanya menggunakan teknology bukan memanfaatkannya etika yang sudah tertanam dalam nilai-nilai tradisi masyarakat perlahan mulai pudar begitu pula peran manusia dalam masyarakat mulai ter geser oleh tegnology.
(https://asset-a.grid.id/crop/0x0:0x0/700x465/photo/2018/11/17/1257717837.jpg)

Penerapan teknology dalam kehidupan manusia di mulai pada ahun 1750-an yang sering kita dengar revolusi industri 1.0 saat ini manusia sudah memasuki era industri 5.0 yang salahsatunya yaitu menggunakan yang namanya AI / Kecerdasan Buatan. Sebelum kita jauh membahas soal bagaimana posisi manusia dan AI kita harus faham apa itu AI atau kecerdasan Buatan, kecerdasan buatan adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu sistem yang bisa diatur dalam konteks ilmiah atau bisa disebut juga intelegensi artifisial (bahasa Inggris: Artificial Intelligence) atau hanya disingkat AI, didefinisikan sebagai kecerdasan entitas ilmiah. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan kecerdasan buatan sebagai “kemampuan sistem untuk menafsirkan data eksternal dengan benar, untuk belajar dari data tersebut, dan menggunakan pembelajaran tersebut guna mencapai tujuan dan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel”.[1] Sistem seperti ini umumnya dianggap komputer. Kecerdasan diciptakan dan dimasukkan ke dalam suatu mesin (komputer) agar dapat melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan manusia. Beberapa macam bidang yang menggunakan kecerdasan buatan antara lain sistem pakarpermainan komputer (games), logika fuzzyjaringan saraf tiruan dan robotika.(wikipedia)

(https://assets-a2.kompasiana.com/items/album/2019/11/26/ai-5ddc1613097f36480b083f62.png?t=o&v=350)

Sehingga dapat di simpulkan bahwa dengan makin berkembagnya teknology dan tidak adanya sumberdaya manusia yang mampu memanfaatkan dan mengatur keberadaan teknology maka peran-peran yang tadinya membutuhkan manusia nantinya tidak di butuhkan apa lagi dengan makin berkembangnya teknology AI di dunia maka otak peran manusia akan tergantikn.  Maka dari itu untuk mengatasi krisis yang akan datang ini sebainya kita lebih awal melakukan edukasi kepada masyarakat persoalan pemanfaatan teknology yang dimana fungsi teknology sebagai partner dalam kehidupan (AI) bukan sebagai satu-satunya alat yang di gunakan dalam menyelesaikan masalah juga dalam narasi edukasi yang kita berikan jangan sampai melanggar nilai-nilai etika culture msyarakat terkhusu di INDONESIA. Sangat bahaya apabila kita tidak mampu memanfaatkan dan aktif dalam menyikapi perkembangan zaman karena hal yang paling menakutkan dari beradaan teknology apalagi AI adalah tidak di butuhkannya lagi manusia dalam dunia domestik atau produksi. Teknology AI/Kecerdasan Buatan harus di posisikan sebagai partner yang membutuhkan manusia dalam segala hal bukan membalikkannya manusia yang membutuhkan teknology AI sehingga dominasi mesin ketimbang manusia dalam rana domestik dan produksi itu tidak terjadi.

Minggu, 15 Maret 2020

BELANDA VS BALANIPA


AGRESI BELANDA DI TANAH MANDAR


Embrio dari konflik antara Pemerintah Belanda dan Kerajaan Balanipa berawal pada tahun 1816 di mana proses penhyerahan kembali wilayah koloni VOC dari pemerintah kolonial inggris kepada pemerintah Hindia Belanda sehingga menimbulkan konflik politik di kerajaan-kerajaan di sulaweis. Kerajaan-kerajaan yang menolak kehadiran Pemerintah Kolonial yaitu di antaranya kerajaan Bone, Suppa, dan Tanete dan juga dengan tegas meyatakan sikap untuk tidak ikut dalam pembaharuan perjanjian bungayya pada tanggal 27 Agustus 1824. Kerjaan-kerajaan yang tergabung dalam Federasi Pitu Ba’bana Binanga yang dengan tenang tidak terlibat dalam perumusan perjanjian Bungayya jugan tidak memberikan sikap terhadap hadirnya pemerintah Belanda di sulawesi.
Dalam Encyclopedie Van Nederlandsch Indie baha pemerintah belanda berulangkali harus melakukan tidakan agresi militer terhadap Kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Binanga di karenakan pelanggaran atas kontrak Politik yang telah di sepakati. Sebenarnya hal yang di tuduhkan oleh pemerintah Belanda itu adalah karena ketidak tahuan pemerintah atas hukum laut yang di terapkan di Kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Binanga, jadi kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Binanga tidak mengorganisi kegiatan perompakan atas dasar perompakan tetapi atas dasar penerapan hukum teritorial Kerajaan.

Setelah masalah ini di dengar oleh Pemerintahan Belanda mereka langsung mengirimkan utusan untuk menuntut ganti rugi atas tindkan tersebut namun para Penguasa Kerajaan mengabaikan permintaan terebut karena merasa tidak melakukan pelanggaran. Setelah penolakan oleh para Penguasa Kerajaan Pemerintah Belanda  langsung melakukan serangan ke kapal-kapal dan pemukiman penduduk yang melakukan penyandraan dan perompakan sehingga terjadilah konflik antara kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Binanga terkhusu kerajaan Balanipa.

Dengan adanya konflik Ekternal di Kerajaan-kerajaan Pitu Ba’bana Bnanga mengakibatkan stabilitas politik kerajaan kurang baik karena dari internal kerajaan-kerajaan juga memiliki konflik yang rumit yaitu sengketa kepemimpinan antara Mara’dia Balanipa Ammana I bali dengan Mara’dia Matoa Tokeppa (kordinator Pemangku Ada’ Sappulo Sokko). Masalah ini sebenarnya sudah di atur penyelesaiannya dalam “Lontara mara’dia Balanipa Tomatindo Dilaga’na”. Awal konflik ini berawal pada tahun 1851 saat meninggalnya Mara’dia Balanipa Tomatido Di lekopadis maka terjadilah sengketa kedudukan Raja Balanipa.

Konflik antara Belnda dan kerajaan-kerajaan Pitu ba’bana Binanga mulai sedikit menemukan titik temu di mana pada tanggal 14 Oktober 1862 dengan hadirnya 3 perwakilan kerjaan Binuang, Pamboang, dan Sendana melakukan permintaan maaf kepada Pemerintahan Belanda juga melakukan kontrak politik baru ke pemerintahan belanda. Setelah bejalan nya waktu perompakan terjadi kembali pada bulan Juli 1864 dan di asumsikan oleh Pemerintah Belanda bahwa memiliki kaitan dengan meninggalnya Mara’dia Matowa Tokeppa karena waktu meninggal dan perompakan di lakukan pada waktu yang berdekatan dan juga karena Mara’dia Tokeppa lah yang paling keras menolak adanya kehadiran Pemerintah Belanda di tanah Mandar.

Setelah Perompakan yang terjadi pada tahun 1864 Pemerintah BelandaGubernur Sulawesi” mengirimkan surat kepada Gubernur Jendral dalam suratnya tertanggal 12 September 1864  nomor 514 memutuskan agar harus melakukan tindakan tegas ke kerajaan Balanipa. Berjelang beberapa waktu karena konflik ini semakin rumit karena permintaan ganti rugi oleh pemerintahan Belanda di indahkan maka pada tahun 1867 Pemerintah Belanda melakukan Ekspedisi Militer Ke tanah Mandar dan mengakibatkan peperangan.

Setelah peperangan selesai dengan hasil kekalahan Kerajaan Balanipa maka pihak Kerajaan membayar Ganti rugi ke Pemerintah Belanda selain itu hasil dari peperangan itu pucuk pimpinan Kerajaan Balanipa juga ikut Terganti. Pada tanggal 17 Agustus 1870 penandatanganan Kontrak Politik baru pemerintah Belanda dan Pihak Kerajaan Balanipa sekaligus Pengukuhan Raja Balanipa Baru Oleh Pemerintah Belanda. Adapun isi dari kontrak tersebut adalah :
  1. Mara’dia atau Raja dan para pemangku adat Balanipa mengakui bahwa Balanipa termasuk dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Kolonial Belanda, Karena itu Menyatakan tunduk di bawah pemerintah raja Belanda.
  2. Mara’dia dan para pemangku adat Balanipa berjanji akan tidak akan lagi melakukan kekuasaan lagi atas Kerajaan-kerajaan di Mandar lainnya dengan gelar hoof vorst (raja kepala) Mandar di hapuskan.
  3. Mara’dia dan para pemangku adat Balanipa berjanji akan tetap mempererat persahabatan dengan Belanda, menjadikan musuh Belanda sebagai musuh dan sahabat Belanda sebagai sahabatnya.
  4. Mara’dia dan pemangku adat Balanipa berjanji tidak akan mengirim atau menerima surat, hadiah, atau utusan kepada atau dari pemerintah (asing) lainnya, tanpa pemberitahuan atau izin dari Pemerintah Kolonial Belanda.
  5. Mara’dia dan para pemangku adat Balanipa berjanji tidak akan membiarkan adanya perompakan, perdagangan manusia, dan perbudakan di wilayah kekuasaannya.
  6.  Apabila mara’dia mengangkat atau turun tahta, maka pemangku adat diwajibkan segera menyampaikan hal itu kepada Gubernur selebes dan daerah taklukannya.
  7. Mereka harus menyampaikan siapa yang akan menggantikan mara’dia sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku.
  8. Calon harus di kukuhkan oleh Gubernur Sulawesi dan Daerah Takluknya atas persetujuan Pemerintah Kolonial Belanda.
  9. Calon harus menandatangani perjanjian (kontrak) tertulis yang menyatakan kesediaannya untuk mentaati perjanjian tersebut.
  10. Pemerintah kolonial Belanda menyatakan tidak akan mencampuri urusan ke dalam pemerintahan kerajaan Balanipa asal tidak bertentangan denga perjanjian atau kontrak tersebut.
  11. Kontrak politik ini lah yang mengakibatkan runtuhnya perjuangan perlawanan kerajaan melawan kolonial Belanda karena seluruh sendi-sendi yang hadir di msyarakat dan kerajaan harus di kontrol di bawah aturan Belanda.
Kontrak politik ini lah yang mengakibatkan runtuhnya perjuangan perlawanan kerajaan melawan kolonial Belanda karena seluruh sendi-sendi yang hadir di msyarakat dan kerajaan harus di kontrol di bawah aturan Belanda.

Sekian dari saya mungkin hanya ini bebrapa hal yang saya ketahui soal masuknya Belanda Di tanah Mandar kalau ada hal yang di anggap keliru mohon maaf dan kritikilah denagn landasan data real atau hasil riset, juga dengan sopan.

TERIMAKASIH !!!!